Skip to main content

Krisis Kepercayaan Diri: Wajar atau Berlebihan?

Belakangan tab Explore di Instagram gue ramai banget dengan TikTok segala rupa. Beragam manusia, mulai dari yang gue kenal sampe yang "Ini siapa sih?" muncul gitu aja. Ada yang semangat '45 buat joget, malu-malu, sampe niat bikin konten yang enak dipandang. Semuanya lengkap di Explore.

Enggak hanya TikTok yang berjaya. Explore gue juga diramaikan oleh manusia lainnya yang lagi seneng-senengnya menggandrungi dunia cover lagu dan musik. Asyik sih, karena gue bisa menikmati 1 lagu dengan berbagai jenis aransemen. Se-enggaknya, meskipun gue emang bukan orang yang berbakat di dunia musik, tapi bisa menikmati banyak lagu enak lumayan bikin happy.

Ada juga yang melukis, vlogging, masak, bikin kue, bikin kerajinan tangan dan kesenian, bergelut dalam olahraga, dan konten lainnya. Lama kelamaan gue jadi minder. Kok gue gini-gini aja, cuman jadi penikmat dan enggak berbuat "sesuatu yang menarik" juga kayak mereka? Ujungnya, gue jadi mempertanyakan sekaligus menyalahkan diri sendiri. 

"Bisa apa sih gue?"

Mungkin ada juga temen-temen yang merasakan hal yang sama. Buat sebagian orang, ada yang menyebutnya dengan istilah Krisis Kepercayaan Diri. Gue pun demikian.

Yuk, kita bahas sedikit demi sedikit! Btw, I am not the expert. Gue cuman mau berbagi tentang apa yang gue kenali dari pengalaman ini.

Sebenernya krisis kepercayaan diri bisa terjadi dengan berbagai faktor pendukung dan kapan saja. Gue yang merupakan sarjana ilmu komunikasi, berkecimpung lebih dari 3 tahun di dunia media, dan selalu berkutat dengan dunia tulis-menulis pun pernah mikir, kok kayaknya tulisan gue jelek banget ya dibandingkan temen-temen gue yang lain? Saat itu gue nge-drop hampir 1 bulan. Ujungnya ngerasa enggak berguna dan mikir, "Kayaknya gue enggak akan kepake di dunia profesional serupa untuk masa mendatang". Serius, masalah krisis kepercayaan diri bisa berdampak segitu hebatnya lho, kalau kita enggak mengatasinya dengan tepat.

Terus, apa yang gue lakukan? Gue enggak berdiam diri ketika krisis kepercayaan diri itu mampir. Gue memutuskan untuk segera belajar dari tulisan orang lain. Mengecek gaya penulisan, karakter penulis, dan tema tulisan mereka menjadi rutinitas gue selama 2 bulan. Ya, gue memilih untuk mempersingkat waktu krisis kepercayaan diri dan menggantinya dengan usaha memperbaiki diri.

Meskipun gue punya basic yang "seharusnya enggak minder", tapi gue percaya se-ahli apapun seseorang, dia pasti akan selalu memiliki kekurangan. Gue lupa siapa yang pernah bilang, tapi yang jelas, gue masih inget seseorang pernah menegaskan, 

"Seorang ahli pun pernah menjadi pemula."

Statement itu menjadi faktor utama yang mendorong gue untuk segera bangkit dari krisis kepercayaan diri. Gue enggak mau larut dalam peran menyalahkan diri sendiri, tapi juga enggak terlampau mengagungkan orang lain. Jadi, satu-satunya yang bisa gue lakukan adalah menerima rasa minder dan menghentikannya dengan belajar lebih keras.

Menurut pengalaman gue, ada banyak orang yang susah menerima kritik dan saran dari orang lain. Mungkin bener sih, manusia memiliki ego yang tanpa sadar membuat dirinya seakan superior. Tapi di sisi lainnya, kita juga perlu memahami bahwa merendah pun bukan hal yang haram untuk dilakukan. 

Aduh, kayaknya tulisan gue jadi ngalor ngidul, enggak jelas juntrungannya ya? Hehehe, maafkan.

Tapi, gue cuman mau mengingatkan bahwa krisis kepercayaan diri adalah suatu fenomena alami yang sangat bisa dikendalikan. Tanpa kenal usia, momen, penyebab, krisis ini bisa dateng kapanpun. Kita harus siap siaga sewaktu mengalaminya. Yang paling penting adalah jangan fokus pada perasaan krisisnya, tapi fokus pada pembelajaran untuk keluar dari krisis tersebut.

Oh ya, jangan terlalu memaksakan diri mencari solusi untuk menyelesaikan "si krisis yang menyebalkan". Jalani pelan-pelan, dan coba cari solusi apa yang tepat untuk dijadikan jalan keluar. Terkadang, yang terpenting bukanlah "akhirnya", melainkan prosesnya. Krisis kepercayaan diri yang berhasil dilalui nyatanya mampu menjadi ajang aktualisasi diri. Seakan panggung beserta karpet merah untuk mengapresiasi diri sendiri.

Baiklah, sudahi perihal krisis kepercayaan diri. Sampai jumpa di tulisan lainnya!

30 Motivating Quotes to Read When You Don’t Feel Like Working Out

Comments

Popular Posts

Review Novel Suwung: Tentang Kekosongan yang Usai

Kalau biasanya gue berbagi pengalaman ( yang sesekali dibalut dengan nada lirih hehe ), sekarang gue pengin review sebuah buku. Disclaimer dulu: gue enggak mau janji bakal rutin bikin review buku . Ya, karena gue tahu diri, gue kadang males buat segera menyelesaikan bacaan dan berbagi tentang ceritanya hehe. Jadi, mumpung mood -nya sedang mampir, dan kebetulan banget baru selesai baca bukunya, ya hayuk gue bikinin tulisannya. Monggo disimak, ya! *** Buku yang mau gue review kali ini adalah Suwung.  Gue punya buku ini sejak zaman mahasiswa. Gue lupa sih untuk tahun persisnya. Mungkin circa 2012-2013. Waktu itu gue dan temen-temen di HMJ yang gue ikuti bikin acara sejenis roadshow . Di acara tersebut, kami mengundang Republika. Di tengah acara, ada beberapa mini quiz yang diberikan. Honestly , gue panitia sih di sana, tapi melihat kurangnya antusias peserta untuk ikutan di kuis tersebut, alhasil gue ikutan menjawab pertanyaan. Konsepnya bener-bener ngasal, dan modal nekat aja buat jawab

Senandika Pagi Hari

Pagi ini agak sendu memang. Matahari tak terlalu narsis, bahkan mungkin cenderung minder. Jalan lumayan lapang. Sampai di stasiun, memasuki gerbong kereta yang penuh mau tidak mau membuat gue harus berdiri. Namun belum sampai dua menit, seorang laki-laki memberikan tempat duduknya untuk gue. Manis sekali. Kemudian gue melanjutkan mendengarkan musik dari ponsel. Kembali ke Awal by Glenn Fredly pun mulai mengalun di telinga. Seketika teringat dengan laki-laki yang pernah amat berkesan 4 hingga 5 tahun lalu. Sudah biasa saja kalau tiba-tiba teringat olehnya. Seperti kata pepatah, orangnya mungkin pergi, namun kenangan akan tetap tinggal. Seketika teringat dengan pertanyaan salah satu sahabat semalam. "Gimana kalau emang akhirnya kalian berjodoh?" Gue terdiam. Kemudian menyadari, di hadapan gue sudah tersaji burger yang mulai dingin. Tanpa kata, gue menggigit  burger itu dengan rakusnya. Tentu sambil berpikir, apa jawabannya. Malam tadi gue tidak menjawab apapun. Hari ini g

Senggol Gemas

Hari ini gue masuk rumah sakit. Engga engga, bukan karena sakit maag atau tipes kayak penyakit gue pada umumnya. Tapi, gue kecelakaan. Loh, kok bisa? Jawabannya, ya bisa aja. Jadi tadi kejadiannya bermula ketika gue naik salah satu ojek online alias ojol, dari Stasiun Manggarai ke kantor yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Udah biasa banget lah pokoknya naik ojol ke sana. Udah mau nyampe nih, persis banget di depan kantornya, mau belok kanan, karena kantornya berada di kanan, sementara arah ojol gue dari Stasiun Manggarai itu di bahu kiri jalan. No , no , gue engga lawan arus. Tepat pada posisinya. Karena di sebelah bahu kanan jalan itu arah pulang ke Stasiun Manggarainya, begitu. Long story short , tiba-tiba banget BRAK! Punggung gue bunyi. Gue mikir dulu tuh, apaan ya tadi? Tiba-tiba kok sakit? Kok punggung jadi kaku? Dan gue lihat di depan gue, ada pengendara sepeda motor yang udah gegulingan dari motor, ditambah semarak kilatan besi kerangka motornya yang mengad

Menuju 27: Siap?

2020 berlalu begitu cepat. Enggak terasa, ternyata udah masuk bulan Juli, dan artinya sudah resmi meninggalkan setengah bagian di tahun ini. Mungkin buat sebagian orang, 2020 adalah tahun yang paling mencekam dan enggak ada asyiknya. Buat gue juga sih, sebenernya. Rasanya baru kemarin pindah kantor baru, merasakan dunia baru dengan jabatan dan tanggung jawab yang baru (ehm, plus gaji yang baru tentunya hehe), natal, tahun baru, banjir di tahun baru, dan tiba-tiba udah dalam adegan menimbun lemak di rumah sepanjang hari. Bersamaan dengan rasa "enggak nyangka", gue juga enggak menyangka bahwa bulan ini adalah bulan ke 27 yang akan gue lalui. Itu artinya, gue sedang bersiap menuju angka 27. Wow, bisa dibilang tua gak sih? Hehehe. Anyway , sebagai usaha bagi-bagi-fakta, usia ke-27 adalah angka yang gue favoritkan sejak masa remaja. Entah kenapa, usia ke-27 tampak dewasa, pakem, dan matang.  Dulu gue sempat berpikir, di usia 27, gue akan menikmati masa sebagai wanita k

Cerita Kala Macet di Ibukota

Aku benci kemacetan. Membuang waktuku duduk di jok kendaraan berlama-lama, menyita ria yang tadinya sempat singgah. Bahkan mengunyah roti dan meneguk air pun tak menjadi cara memecah penuhnya jalan ibu kota. Aku selalu heran dengan manusia di perkotaan. Menghabiskan waktu ditemani asap kendaraan, berlagak baik pada diri sendiri dengan masker berwarna-warni. Halo kamu, sungguh, masih sesak dadamu. Aku dengarkan sekali lagi musik yang berdendang di telinga. Beragam penyanyi, beragam nada, dan beragam kisah. Lalu tak sengaja mengalun lagu tentang dia yang sudah lama ku ikhlaskan. Nyatanya melepaskan tak sama dengan melupakan. Ia akan tetap menjadi memori yang terus berjalan bak putaran adegan dalam film. Hanya saja akhirnya sudah ku ketahui. Pupus.