Skip to main content

Babak Belur Toleransi

Berita intoleransi kembali terjadi di Indonesia. Saya hanya bisa tersenyum tumpul ketika membacanya di portal dunia maya.

“Apa?! Hah? Lapor aja!”

Terdengar sekaligus terlihat jelas seorang lelaki berteriak ‘tuk paksakan penghentian ibadah.

Ibadah di rumah ibadah sedang dilarang oleh pemerintah. Bukan perihal Indonesia pindah haluan ideologi. Ini demi “jaga jarak antar manusia” alias physical distancing. Ingat, bukan ibadahnya yang dilarang, namun ke rumah ibadahnya yang dihentikan sementara. Tak usah gelisah apalagi marah, untungnya Allah memang Maha Hadir. Ibadah di rumahpun, saya yakin Allah mampir.

Saya ingin kilas balik dengan salah satu kasus intoleransi terbesar yang pernah saya alami secara tidak langsung. Bukan saya korbannya. Saya hanya manusia yang beruntung bisa menerima pelajaran terbaik di masa itu.

Dulu tahun 1998 saya dan keluarga berpindah ke Jambi. Mungkin sudah menjadi agenda rutin keluarga untuk berpindah kala itu. Ayah bekerja di perkebunan kelapa sawit dan dipercaya mengurus cabang demi cabang. Efeknya, kami harus terbiasa berpindah dari satu kota ke kota lainnya.

Saya ingat, sesampainya di Jambi, saya tidak langsung melanjutkan sekolah. Terhitung masa sekolah yang tanggung, saya akhirnya belajar di rumah untuk beberapa bulan ke depan. Tak jadi masalah, karena toh saya masih TK kecil. Ketika bulannya genap di pergantian masuk sekolah, saya langsung didaftarkan di salah satu TK besar yang terbaik pada masa itu di Jambi.

Saya masih ingat, teman-teman saya terbagi menjadi 2 kategori besar; Melayu asli Jambi, dan keturunan Tionghoa. Tak masalah, saya bermain bersama teman-teman.

Namun dalam waktu singkat, saya mendapati tiba-tiba semakin banyak teman keturunan Tionghoa. Mereka putih bersih, dan sangat terawat. Masih tidak peduli, saya masih bermain bersama teman-teman lainnya.

Hingga suatu hari, saya tiba di kelas yang paling membosankan versi saya, yaitu Mendongeng. Ya, kelas itu harus ada karena mayoritas teman-teman saya belum bisa membaca, sehingga sangat bergantung pada imajinasinya berdasarkan cerita yang dibawakan oleh guru-guru secara bergantian setiap hari. Sebagai seorang saya, yang sudah sangat mahir membaca dan menulis sejak usia 3 tahun, kelas Mendongeng amat menjengkelkan. Sebagai gantinya, saya memilih melukis dan mewarnai. Saya bahkan pernah Juara 3 Melukis se-provinsi dan berkesempatan melaju di ajang nasional. Namun Ayah harus pindah lagi, dan perlombaan berhenti di sana. Itu lain cerita, lupakan saja.

Yang ingin saya ceritakan adalah kisah ketika saya terlibat dalam perbincangan menarik dengan salah satu guru di kelas itu. Ketika kelas mewarnai, saya senang sekali mengeksplor warna. Buat saya, jalan tidak harus berwarna cokelat, abu-abu, ataupun hitam. Saya sering membuat warna merah muda, biru, dan ungu.

Begitupun dengan gambar rumah. Saya senang mewarnai temboknya dengan warna merah, hijau, oranye, dan bahkan hitam.

Salah satu guru pernah menegur. 

“Duti, kok warnanya begitu? Diperbaiki ya…”

Saya bingung apa yang harus diperbaiki. Bentuknya sama, hanya warnanya saja yang berbeda. Saya tidak mengubah apapun. Hari-hari berikutnya masih dengan warna-warni yang saya mau.

Hingga akhirnya seorang guru asal Kupang dengan warna kulitnya yang hitam berpadu dengan wajahnya yang sangat manis menghampiri. Mungkin definisi hitam manis paling sempurna lahir darinya. Bu Cecilia, dengan rambut kribonya yang khas. Dia yang paling tahu kepribadian saya dengan sangat baik.

Dahulu, saya tumbuh sebagai gadis kecil yang sangat pemalu dan pendiam. Orangtua saya bilang, mereka selalu kebingungan dan takut kalau hal itu memengaruhi akademis. Sepanjang apapun pertanyaan, hanya akan saya balas dengan anggukan, gelengan, dan kata seperlunya.

Hingga akhirnya Bu Cecilia memilih saya sebagai MC di acara perpisahan TK besar. Saya memimpin acara sendirian, dipandu oleh cue card dan arahan guru-guru di bawah panggung. Saya juga mendeklamasikan sebuah puisi ciptaan sendiri bertajuk Banjir. Hebatnya, hingga dikumandangkan oleh salah satu radio kenamaan Jambi di hari yang sama. Tak hanya itu, si gadis pemalu dan pendiam yang nyaris tidak pernah terdengar suaranya justru mengisi bagian paling banyak di panggung. Saya menyanyi dan menari. Rasanya bahagia ketika ratusan pasang mata bersanding dengan tepukan tangan meriah yang memenuhi gedung perpisahan anak bau matahari.

Selesai acara, Bu Cecilia memanggil saya. Sudah hampir 22 tahun lamanya, namun saya masih sangat ingat dengan kata-katanya.

“Ibu selalu membiarkan kamu mewarnai semau yang kamu mau, asal masih jelas bentuknya dan manfaatnya. Jalan ya tetap jalan, rumah ya tetap rumah. Tidak ada yang berubah. Warna rumah aja bisa beda-beda di 1 kampung, apalagi Indonesia.”

Ucapannya baru saja menguap di benak. Saya baru ingat, beliau sedang mengajarkan saya perihal Bhinneka Tunggal Ika. Saya baru menyadari, teman-teman keturunan Tionghoa adalah mereka yang melarikan diri ke Jambi karena diamuk benci oleh binatang berperawakan manusia. Saya baru memahami, Indonesia diisi oleh beragam orang yang berbeda. Saya suka mewarnai jalan dengan merah muda, dan mungkin kamu suka mewarnai jalan dengan hitam kecokelatan. Saya suka mewarnai rumah dengan hitam legam, dan mungkin kamu suka mewarnai rumah dengan putih pucat.

Kita semua berbeda, dan tidak perlu dipaksa se-warna. Asalkan masih seirama, mengapa harus kita paksakan arah?

---
Manusia kerap terjebak dengan pusaran agamanya. Sibuk dengan ritus ibadahnya dan beragam soal perihal benar dan salah. Lupa bahwa manusia hanya akan tiba di jawaban baik dan buruk. Lupa bahwa penilaian benar dan salah terlalu pelik perhitungannya, dan hanya Sang Maha yang bisa melakukan.

Konflik antar manusia masih terus menggerus akal sehat dan hati nurani; padahal itu merupakan pembeda terbesar antara manusia dengan makhluk lainnya.

Saya jadi berpikir, mungkin saja wabah dunia menjadi caranya Allah yang paling efektif untuk manusia-manusia di muka bumi bisa kembali belajar memanusiakan manusia.

Kita sering paksakan ingin dan rasa. Lupa menjadi kebablasan, tak ingat bahwa manusia lainnya pun memiliki hati, rasa, hasrat, dan ingin yang sama… -untuk ibadah, untuk tegur sapa dengan Tuhannya, untuk curhat problematikanya, untuk….untuk kita bisa sama-sama mengerti- bahwa agama tidaklah penting. Yang terpenting adalah materi kehidupan dari Tuhan yang senantiasa Ia ajarkan dan apa yang seharusnya manusia bisa perbuat.

Comments

Popular Posts

Review Novel Suwung: Tentang Kekosongan yang Usai

Kalau biasanya gue berbagi pengalaman ( yang sesekali dibalut dengan nada lirih hehe ), sekarang gue pengin review sebuah buku. Disclaimer dulu: gue enggak mau janji bakal rutin bikin review buku . Ya, karena gue tahu diri, gue kadang males buat segera menyelesaikan bacaan dan berbagi tentang ceritanya hehe. Jadi, mumpung mood -nya sedang mampir, dan kebetulan banget baru selesai baca bukunya, ya hayuk gue bikinin tulisannya. Monggo disimak, ya! *** Buku yang mau gue review kali ini adalah Suwung.  Gue punya buku ini sejak zaman mahasiswa. Gue lupa sih untuk tahun persisnya. Mungkin circa 2012-2013. Waktu itu gue dan temen-temen di HMJ yang gue ikuti bikin acara sejenis roadshow . Di acara tersebut, kami mengundang Republika. Di tengah acara, ada beberapa mini quiz yang diberikan. Honestly , gue panitia sih di sana, tapi melihat kurangnya antusias peserta untuk ikutan di kuis tersebut, alhasil gue ikutan menjawab pertanyaan. Konsepnya bener-bener ngasal, dan modal nekat aja buat jawab

Senandika Pagi Hari

Pagi ini agak sendu memang. Matahari tak terlalu narsis, bahkan mungkin cenderung minder. Jalan lumayan lapang. Sampai di stasiun, memasuki gerbong kereta yang penuh mau tidak mau membuat gue harus berdiri. Namun belum sampai dua menit, seorang laki-laki memberikan tempat duduknya untuk gue. Manis sekali. Kemudian gue melanjutkan mendengarkan musik dari ponsel. Kembali ke Awal by Glenn Fredly pun mulai mengalun di telinga. Seketika teringat dengan laki-laki yang pernah amat berkesan 4 hingga 5 tahun lalu. Sudah biasa saja kalau tiba-tiba teringat olehnya. Seperti kata pepatah, orangnya mungkin pergi, namun kenangan akan tetap tinggal. Seketika teringat dengan pertanyaan salah satu sahabat semalam. "Gimana kalau emang akhirnya kalian berjodoh?" Gue terdiam. Kemudian menyadari, di hadapan gue sudah tersaji burger yang mulai dingin. Tanpa kata, gue menggigit  burger itu dengan rakusnya. Tentu sambil berpikir, apa jawabannya. Malam tadi gue tidak menjawab apapun. Hari ini g

Senggol Gemas

Hari ini gue masuk rumah sakit. Engga engga, bukan karena sakit maag atau tipes kayak penyakit gue pada umumnya. Tapi, gue kecelakaan. Loh, kok bisa? Jawabannya, ya bisa aja. Jadi tadi kejadiannya bermula ketika gue naik salah satu ojek online alias ojol, dari Stasiun Manggarai ke kantor yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Udah biasa banget lah pokoknya naik ojol ke sana. Udah mau nyampe nih, persis banget di depan kantornya, mau belok kanan, karena kantornya berada di kanan, sementara arah ojol gue dari Stasiun Manggarai itu di bahu kiri jalan. No , no , gue engga lawan arus. Tepat pada posisinya. Karena di sebelah bahu kanan jalan itu arah pulang ke Stasiun Manggarainya, begitu. Long story short , tiba-tiba banget BRAK! Punggung gue bunyi. Gue mikir dulu tuh, apaan ya tadi? Tiba-tiba kok sakit? Kok punggung jadi kaku? Dan gue lihat di depan gue, ada pengendara sepeda motor yang udah gegulingan dari motor, ditambah semarak kilatan besi kerangka motornya yang mengad

Menuju 27: Siap?

2020 berlalu begitu cepat. Enggak terasa, ternyata udah masuk bulan Juli, dan artinya sudah resmi meninggalkan setengah bagian di tahun ini. Mungkin buat sebagian orang, 2020 adalah tahun yang paling mencekam dan enggak ada asyiknya. Buat gue juga sih, sebenernya. Rasanya baru kemarin pindah kantor baru, merasakan dunia baru dengan jabatan dan tanggung jawab yang baru (ehm, plus gaji yang baru tentunya hehe), natal, tahun baru, banjir di tahun baru, dan tiba-tiba udah dalam adegan menimbun lemak di rumah sepanjang hari. Bersamaan dengan rasa "enggak nyangka", gue juga enggak menyangka bahwa bulan ini adalah bulan ke 27 yang akan gue lalui. Itu artinya, gue sedang bersiap menuju angka 27. Wow, bisa dibilang tua gak sih? Hehehe. Anyway , sebagai usaha bagi-bagi-fakta, usia ke-27 adalah angka yang gue favoritkan sejak masa remaja. Entah kenapa, usia ke-27 tampak dewasa, pakem, dan matang.  Dulu gue sempat berpikir, di usia 27, gue akan menikmati masa sebagai wanita k

Cerita Kala Macet di Ibukota

Aku benci kemacetan. Membuang waktuku duduk di jok kendaraan berlama-lama, menyita ria yang tadinya sempat singgah. Bahkan mengunyah roti dan meneguk air pun tak menjadi cara memecah penuhnya jalan ibu kota. Aku selalu heran dengan manusia di perkotaan. Menghabiskan waktu ditemani asap kendaraan, berlagak baik pada diri sendiri dengan masker berwarna-warni. Halo kamu, sungguh, masih sesak dadamu. Aku dengarkan sekali lagi musik yang berdendang di telinga. Beragam penyanyi, beragam nada, dan beragam kisah. Lalu tak sengaja mengalun lagu tentang dia yang sudah lama ku ikhlaskan. Nyatanya melepaskan tak sama dengan melupakan. Ia akan tetap menjadi memori yang terus berjalan bak putaran adegan dalam film. Hanya saja akhirnya sudah ku ketahui. Pupus.