Skip to main content

#dirumahaja

Hari ini saat gue nulis, hem maksud gue ngetik ini, finally gue sedang bekerja di rumah. Yap! Bersyukur pada akhirnya kantor gue menjalani #WFH alias Work From Home yang marak digaungkan belakangan ini. Belum lagi aksi tagar #dirumahaja juga semakin menggelora. You know dong gais, ini semua terjadi karena virus Covid-19 yang kian mewabah di dunia, hingga tidak mungkin jika Indonesia tidak ikutan terpapar. Berdiri di antara negara-negara tetangga lainnya, dan juga menjadi tempat persinggahan warga dunia lainnya, menurut gue wajar juga jikalau akhirnya Indonesia harus menerima konsekuensi epidemi ini.

In other hands, gue tetap bersyukur. Bersyukur bukan artinya gue tertawa hingga lepas kendali di atas penderitaan orang lain. Atau, gue senyum-senyum ketika melihat banyak orang yang jatuh sakit bahkan meninggal setelah didera Covid-19. Tapi gue bersyukur karena faktanya, gue, dan (pastinya) kita semua masih diberikan kesempatan oleh Pencipta untuk melalui ini semua.

Gue -si pemercaya suka dan duka adalah kebaikan dari Tuhan- selalu mengimani bahwa semua peristiwa terjadi dengan berbagai alasan di baliknya. Positifnya, Tuhan mendidik tentang gaya hidup sehat yang harus selalu kita aplikasikan. Jadi keinget, betapa selama ini gue pun sering banget lupa dan males cuci tangan, mandi setelah pulang kerja, engga makan makanan sehat dan bergizi, dan segala gaya hidup engga beres lainnya. Dan gue bersyukur, Tuhan masih kasih kesempatan untuk gue memperbaiki diri menjadi Duti yang lebih aware dengan kebersihan dan kesehatan.

Seperti yang gue bahas di awal, bicara soal Covid-19 pasti erat banget dengan #dirumahaja dan #WFH. Bicara soal WFH, awalnya gue mengira WFH bakalan sangat membosankan. Kerjaan gue yang sekarang 100% di kantor tok, di depan layar komputer, di dalam studio buat shooting membiasakan gue untuk terus bertemu dengan rekan kerja itu lagi-itu lagi. Pertemuan dengan mereka perlahan membuat gue semakin dekat dan menjadikan mereka sebagai rumah kedua. Nah hal inilah yang menyebabkan pemikiran “WFH bakal ngebosenin” muncul. Tapi ternyata engga juga loh, hehe.

WFH tuh menyenangkan! Bahkan stay at home sangat menyenangkan. Gue bisa bangun lebih lama karena engga perlu terburu-buru dengan waktu berangkat kerja dan persiapan ini itu untuk ke kantor. Gue bisa kerja sambil selonjoran ditemani camilan dan buah. Eits engga lupa, ada dispenser yang persis di sebelah kanan gue setiap bekerja. Semua jadi lebih praktis, dan lagi-lagi gue gak bosen buat bilang, WFH MENYENANGKAN! #dirumahaja MENYENANGKAN!

Oh ya, #dirumahaja buat gue adalah waktu untuk lebih menghargai diri sendiri. #dirumahaja  menjadi momen gue lebih peduli apa sih yang diri sendiri butuhkan? Perlahan menjauh dari dunia maya dan menghidupi realita dengan segala drama yang tak terlalu penuh penokohan. Sembari menikmati permainan The Sims 4 di laptop sembari sesekali colongan mengecek peternakan maya di aplikasi gim HayDay ponsel. Ternyata hidup gue sangat indah dan berharga. Bahkan menggumuli soal pasangan hidup dan urusan asmara tak pernah sekelibat pun membayangi pikiran.

Lagi lagi, nyatanya Covid-19 memberikan kesempatan baru untuk gue lebih menghargai kehidupan yang sudah diberikan oleh Tuhan. Menyayangi diri sendiri, mensyukuri berkat setiap hari, dan bonusnya bisa berkumpul dengan keluarga sambil diskusi cerita di sinetron Indosiar yang monoton.

Bagaimana #dirumahaja versimu?

Ps.
Anyway, meskipun Covid-19 membuat kita harus stay at home, gue tetap berdoa, semoga dunia segera kembali bercahaya dan bersih tanpa Covid-19 ataupun masalah lainnya. Semoga dunia dan Indonesia tentunya kembali stabil, aman, dan bahagia dengan kisah-kisah manis lainnya.

God bless you unlimited!

Comments

Popular Posts

Review Novel Suwung: Tentang Kekosongan yang Usai

Kalau biasanya gue berbagi pengalaman ( yang sesekali dibalut dengan nada lirih hehe ), sekarang gue pengin review sebuah buku. Disclaimer dulu: gue enggak mau janji bakal rutin bikin review buku . Ya, karena gue tahu diri, gue kadang males buat segera menyelesaikan bacaan dan berbagi tentang ceritanya hehe. Jadi, mumpung mood -nya sedang mampir, dan kebetulan banget baru selesai baca bukunya, ya hayuk gue bikinin tulisannya. Monggo disimak, ya! *** Buku yang mau gue review kali ini adalah Suwung.  Gue punya buku ini sejak zaman mahasiswa. Gue lupa sih untuk tahun persisnya. Mungkin circa 2012-2013. Waktu itu gue dan temen-temen di HMJ yang gue ikuti bikin acara sejenis roadshow . Di acara tersebut, kami mengundang Republika. Di tengah acara, ada beberapa mini quiz yang diberikan. Honestly , gue panitia sih di sana, tapi melihat kurangnya antusias peserta untuk ikutan di kuis tersebut, alhasil gue ikutan menjawab pertanyaan. Konsepnya bener-bener ngasal, dan modal nekat aja buat jawab

Senandika Pagi Hari

Pagi ini agak sendu memang. Matahari tak terlalu narsis, bahkan mungkin cenderung minder. Jalan lumayan lapang. Sampai di stasiun, memasuki gerbong kereta yang penuh mau tidak mau membuat gue harus berdiri. Namun belum sampai dua menit, seorang laki-laki memberikan tempat duduknya untuk gue. Manis sekali. Kemudian gue melanjutkan mendengarkan musik dari ponsel. Kembali ke Awal by Glenn Fredly pun mulai mengalun di telinga. Seketika teringat dengan laki-laki yang pernah amat berkesan 4 hingga 5 tahun lalu. Sudah biasa saja kalau tiba-tiba teringat olehnya. Seperti kata pepatah, orangnya mungkin pergi, namun kenangan akan tetap tinggal. Seketika teringat dengan pertanyaan salah satu sahabat semalam. "Gimana kalau emang akhirnya kalian berjodoh?" Gue terdiam. Kemudian menyadari, di hadapan gue sudah tersaji burger yang mulai dingin. Tanpa kata, gue menggigit  burger itu dengan rakusnya. Tentu sambil berpikir, apa jawabannya. Malam tadi gue tidak menjawab apapun. Hari ini g

Senggol Gemas

Hari ini gue masuk rumah sakit. Engga engga, bukan karena sakit maag atau tipes kayak penyakit gue pada umumnya. Tapi, gue kecelakaan. Loh, kok bisa? Jawabannya, ya bisa aja. Jadi tadi kejadiannya bermula ketika gue naik salah satu ojek online alias ojol, dari Stasiun Manggarai ke kantor yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Udah biasa banget lah pokoknya naik ojol ke sana. Udah mau nyampe nih, persis banget di depan kantornya, mau belok kanan, karena kantornya berada di kanan, sementara arah ojol gue dari Stasiun Manggarai itu di bahu kiri jalan. No , no , gue engga lawan arus. Tepat pada posisinya. Karena di sebelah bahu kanan jalan itu arah pulang ke Stasiun Manggarainya, begitu. Long story short , tiba-tiba banget BRAK! Punggung gue bunyi. Gue mikir dulu tuh, apaan ya tadi? Tiba-tiba kok sakit? Kok punggung jadi kaku? Dan gue lihat di depan gue, ada pengendara sepeda motor yang udah gegulingan dari motor, ditambah semarak kilatan besi kerangka motornya yang mengad

Menuju 27: Siap?

2020 berlalu begitu cepat. Enggak terasa, ternyata udah masuk bulan Juli, dan artinya sudah resmi meninggalkan setengah bagian di tahun ini. Mungkin buat sebagian orang, 2020 adalah tahun yang paling mencekam dan enggak ada asyiknya. Buat gue juga sih, sebenernya. Rasanya baru kemarin pindah kantor baru, merasakan dunia baru dengan jabatan dan tanggung jawab yang baru (ehm, plus gaji yang baru tentunya hehe), natal, tahun baru, banjir di tahun baru, dan tiba-tiba udah dalam adegan menimbun lemak di rumah sepanjang hari. Bersamaan dengan rasa "enggak nyangka", gue juga enggak menyangka bahwa bulan ini adalah bulan ke 27 yang akan gue lalui. Itu artinya, gue sedang bersiap menuju angka 27. Wow, bisa dibilang tua gak sih? Hehehe. Anyway , sebagai usaha bagi-bagi-fakta, usia ke-27 adalah angka yang gue favoritkan sejak masa remaja. Entah kenapa, usia ke-27 tampak dewasa, pakem, dan matang.  Dulu gue sempat berpikir, di usia 27, gue akan menikmati masa sebagai wanita k

Cerita Kala Macet di Ibukota

Aku benci kemacetan. Membuang waktuku duduk di jok kendaraan berlama-lama, menyita ria yang tadinya sempat singgah. Bahkan mengunyah roti dan meneguk air pun tak menjadi cara memecah penuhnya jalan ibu kota. Aku selalu heran dengan manusia di perkotaan. Menghabiskan waktu ditemani asap kendaraan, berlagak baik pada diri sendiri dengan masker berwarna-warni. Halo kamu, sungguh, masih sesak dadamu. Aku dengarkan sekali lagi musik yang berdendang di telinga. Beragam penyanyi, beragam nada, dan beragam kisah. Lalu tak sengaja mengalun lagu tentang dia yang sudah lama ku ikhlaskan. Nyatanya melepaskan tak sama dengan melupakan. Ia akan tetap menjadi memori yang terus berjalan bak putaran adegan dalam film. Hanya saja akhirnya sudah ku ketahui. Pupus.