Skip to main content

Caraku Mencintai Aku

"You deserved to be happy."

Pasti lumayan sering kan denger atau lihat ucapan tadi? Hampir semua self-healing mengedepankan konsep ini. Intinya, kamu berhak bahagia.

Belakangan pikiranku lagi banyak banget isinya. Silih berganti antara pekerjaan, keluarga, mimpi, patah hati, dan sebagainya yang terasa tidak kunjung mati. Makin diem, malah makin kerasa muramnya.

Aku coba cari, hem salah di mana ya? I tried my best so so so hard to find out what's going on at that time. Gue mencoba untuk kembali pada asal, yaitu back to God. Ini penting dan mandatori, tapi kok rasanya susah ya buka obrolan dengan Tuhan? Bahkan sudah baca Kitab Suci, udah nyanyi pujian, tapi kayak engga nemu aja celah buat curhat colongan ke Tuhan.

Akhirnya memutuskan untuk rehat. Bukan sekadar rehat secara fisik, namun juga mental. Aku mulai belajar untuk mencintai diri sendiri melalui asupan-asupan baik bagi tubuh. Minum air putih lebih banyak, rajin mandi dan bersih-bersih, ganti cleansing soap, mulai rutin pakai sunscreen setiap mau keluar rumah, sampai sebisa mungkin makan buah setiap hari.

Engga cuman jasmani, tapi mulai memperbaiki mental yang kayaknya drop kejauhan hehe. Mulai mengisi waktu dengan hal-hal positif diawali dengan disiplin ikut alarm untuk ibadah singkat di pagi hari, ngobrol dengan Tuhan melalui caraku sendiri, kembali cari kata-Nya Tuhan melalui bacaan Kitab Suci yang masih ku usahakan ngga bolong :'), mengganti wallpaper dan lockscreen ponsel menjadi sesuatu yg lebih cerah, girly, dan menenangkan, mulai main games yang udah jarang disentuh karena sibuk dengan isi pikiran sendiri, mulai mengurangi angan-angan yang terlalu duniawi tanpa tahu maknanya, dan mulai menghindari media sosial.

Kenapa sih stop medsos jadi keputusan yang harus ku ambil? Disclaimer dulu, aku engga bener-bener menghilang dari medsos. Yang aku lakukan adalah membatasi diri untuk berlama-lama mantengin medsos. Mulai dari Twitter, Facebook, hingga Instagram, sekarang engga lebih dari 5 menit aja buat mainin semuanya.

Efeknya apa? Aku ngerasa lebih tenang dan bahagia. Ada kedamaian yang berbeda, sekaligus hangat merengkuh hatiku yang sempat dingin. Rasanya lebih banyak bersyukur, oh ternyata Tuhan emang selalu baik, tapi aku yang suka kurang ajar melupakan Dia dan kebaikan-Nya.

Akhirnya menyadari bahwa sepi itu indah. Aku butuh rasa sepi untuk lebih menghargai waktu dan diri sendiri, untuk merasakan kembali bahwa aku hanya manusia yang butuh tenang meski tak sepenuhnya hilang.

Comments

Popular Posts

Review Novel Suwung: Tentang Kekosongan yang Usai

Kalau biasanya gue berbagi pengalaman ( yang sesekali dibalut dengan nada lirih hehe ), sekarang gue pengin review sebuah buku. Disclaimer dulu: gue enggak mau janji bakal rutin bikin review buku . Ya, karena gue tahu diri, gue kadang males buat segera menyelesaikan bacaan dan berbagi tentang ceritanya hehe. Jadi, mumpung mood -nya sedang mampir, dan kebetulan banget baru selesai baca bukunya, ya hayuk gue bikinin tulisannya. Monggo disimak, ya! *** Buku yang mau gue review kali ini adalah Suwung.  Gue punya buku ini sejak zaman mahasiswa. Gue lupa sih untuk tahun persisnya. Mungkin circa 2012-2013. Waktu itu gue dan temen-temen di HMJ yang gue ikuti bikin acara sejenis roadshow . Di acara tersebut, kami mengundang Republika. Di tengah acara, ada beberapa mini quiz yang diberikan. Honestly , gue panitia sih di sana, tapi melihat kurangnya antusias peserta untuk ikutan di kuis tersebut, alhasil gue ikutan menjawab pertanyaan. Konsepnya bener-bener ngasal, dan modal nekat aja buat jawab

Senandika Pagi Hari

Pagi ini agak sendu memang. Matahari tak terlalu narsis, bahkan mungkin cenderung minder. Jalan lumayan lapang. Sampai di stasiun, memasuki gerbong kereta yang penuh mau tidak mau membuat gue harus berdiri. Namun belum sampai dua menit, seorang laki-laki memberikan tempat duduknya untuk gue. Manis sekali. Kemudian gue melanjutkan mendengarkan musik dari ponsel. Kembali ke Awal by Glenn Fredly pun mulai mengalun di telinga. Seketika teringat dengan laki-laki yang pernah amat berkesan 4 hingga 5 tahun lalu. Sudah biasa saja kalau tiba-tiba teringat olehnya. Seperti kata pepatah, orangnya mungkin pergi, namun kenangan akan tetap tinggal. Seketika teringat dengan pertanyaan salah satu sahabat semalam. "Gimana kalau emang akhirnya kalian berjodoh?" Gue terdiam. Kemudian menyadari, di hadapan gue sudah tersaji burger yang mulai dingin. Tanpa kata, gue menggigit  burger itu dengan rakusnya. Tentu sambil berpikir, apa jawabannya. Malam tadi gue tidak menjawab apapun. Hari ini g

Senggol Gemas

Hari ini gue masuk rumah sakit. Engga engga, bukan karena sakit maag atau tipes kayak penyakit gue pada umumnya. Tapi, gue kecelakaan. Loh, kok bisa? Jawabannya, ya bisa aja. Jadi tadi kejadiannya bermula ketika gue naik salah satu ojek online alias ojol, dari Stasiun Manggarai ke kantor yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan. Udah biasa banget lah pokoknya naik ojol ke sana. Udah mau nyampe nih, persis banget di depan kantornya, mau belok kanan, karena kantornya berada di kanan, sementara arah ojol gue dari Stasiun Manggarai itu di bahu kiri jalan. No , no , gue engga lawan arus. Tepat pada posisinya. Karena di sebelah bahu kanan jalan itu arah pulang ke Stasiun Manggarainya, begitu. Long story short , tiba-tiba banget BRAK! Punggung gue bunyi. Gue mikir dulu tuh, apaan ya tadi? Tiba-tiba kok sakit? Kok punggung jadi kaku? Dan gue lihat di depan gue, ada pengendara sepeda motor yang udah gegulingan dari motor, ditambah semarak kilatan besi kerangka motornya yang mengad

Menuju 27: Siap?

2020 berlalu begitu cepat. Enggak terasa, ternyata udah masuk bulan Juli, dan artinya sudah resmi meninggalkan setengah bagian di tahun ini. Mungkin buat sebagian orang, 2020 adalah tahun yang paling mencekam dan enggak ada asyiknya. Buat gue juga sih, sebenernya. Rasanya baru kemarin pindah kantor baru, merasakan dunia baru dengan jabatan dan tanggung jawab yang baru (ehm, plus gaji yang baru tentunya hehe), natal, tahun baru, banjir di tahun baru, dan tiba-tiba udah dalam adegan menimbun lemak di rumah sepanjang hari. Bersamaan dengan rasa "enggak nyangka", gue juga enggak menyangka bahwa bulan ini adalah bulan ke 27 yang akan gue lalui. Itu artinya, gue sedang bersiap menuju angka 27. Wow, bisa dibilang tua gak sih? Hehehe. Anyway , sebagai usaha bagi-bagi-fakta, usia ke-27 adalah angka yang gue favoritkan sejak masa remaja. Entah kenapa, usia ke-27 tampak dewasa, pakem, dan matang.  Dulu gue sempat berpikir, di usia 27, gue akan menikmati masa sebagai wanita k

Cerita Kala Macet di Ibukota

Aku benci kemacetan. Membuang waktuku duduk di jok kendaraan berlama-lama, menyita ria yang tadinya sempat singgah. Bahkan mengunyah roti dan meneguk air pun tak menjadi cara memecah penuhnya jalan ibu kota. Aku selalu heran dengan manusia di perkotaan. Menghabiskan waktu ditemani asap kendaraan, berlagak baik pada diri sendiri dengan masker berwarna-warni. Halo kamu, sungguh, masih sesak dadamu. Aku dengarkan sekali lagi musik yang berdendang di telinga. Beragam penyanyi, beragam nada, dan beragam kisah. Lalu tak sengaja mengalun lagu tentang dia yang sudah lama ku ikhlaskan. Nyatanya melepaskan tak sama dengan melupakan. Ia akan tetap menjadi memori yang terus berjalan bak putaran adegan dalam film. Hanya saja akhirnya sudah ku ketahui. Pupus.